SUMBER : http://mengenalbudayajawa.blogspot.com/2012/12/makna-simbolis-di-balik-nasi-tumpeng.html
Nasi tumpeng, atau yang banyak dikenal sebagai
‘tumpeng’ saja merupakan salah satu warisan kebudayaan yang sampai saat ini
masih dipercaya untuk dihadirkan dalam perayaan baik yang sifatnya simbolis
maupun ritual. Tumpeng sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam
kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya ketika memperingati momen dan
peristiwa penting. Tempat dihadirkannya tumpeng ini pun di desa-desa maupun di
kota-kota besar. Dimulai dari masyarakat di pulau Jawa, Madura dan Bali, kini
penggunaan tumpeng sudah menyebar ke bagian pelosok nusantara lainnya bahkan ke
mancanegara seperti Malaysia, Singapura bahkan Belanda. (dikenal dengan
nama
rijstafel). Meskipun diyakini berasal dari Pulau Jawa, masyarakat
seluruh Indonesia sudah memaklumi dan mengenalnya dengan baik. Di balik tradisi
tumpeng yang biasa dipakai dalam acara ‘selametan’, terdapat nilai-nilai yang
sifatnya filosofis. Tumpeng mengandung makna-makna mendalam yang mengangkat
hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan alam dan dengan sesama manusia.
Sayangnya penyebaran tumpeng yang begitu pesat dan meluas tidak dibarengi
dengan makna filosofis yang terkandung didalamnya. Bagaikan kotak hadiah yang
tampak cantik dari luar namun orang lupa menaruh hadiah di dalamnya, maka
berapapun cantik kotak hadiah tersebut, tidak akan punya arti apa-apa. Analogi
inilah yang kira-kira terjadi pada tumpeng. Banyak orang yang tahu apa itu
tumpeng tetapi tidak tahu artinya.
Padahal apabila dilihat dengan seksama, tumpeng ini sarat dengan makna
sehingga apabila makna tersebut dipahami dan diresapi maka setiap kali tumpeng
hadir dalam setiap upacara, manusia diingatkan lagi akan kekuasaan Sang Pencipta
Alam, pentingnya menjaga keharmonisan dengan alam dan mempelajari nilai nilai
hidup darinya serta mempertahankan asas gotong royong,
urip tulung
tinulung dan
nandur kebecikan, males budi yang menjadi dasar
kerukunan dan keharmonisan hidup bermasyarakat.
TUMPENG
Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut;
karena itu disebut pula ‘nasi tumpeng’. Olahan nasi yang dipakai umumnya
berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa atau nasi
uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa
dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting.
Meskipun demikian, masyarakat Indonesia mengenal kegiatan ini secara umum.
Tumpeng biasa disajikan di atas
tampah (wadah bundar tradisional
dari anyaman bambu) dan di daun pisang batu.
Falsafah tumpeng berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama
pulau Jawa, yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi
purba masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam
para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah masyarakat Jawa menganut
dan dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak berbentuk kerucut
dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru, tempat
bersemayam dewa-dewi.
Meskipun tradisi tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa,
tradisi tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan
filosofi Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan
kepada Yang Maha Kuasa. Dalam tradisi kenduri
Slametan pada masyarakat
Islam tradisional Jawa, tumpeng disajikan dengan sebelumnya digelar pengajian Al
Quran. Menurut tradisi Islam Jawa, “Tumpeng” merupakan akronim dalam bahasa
Jawa:
yen metu kudu sing
mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh).
Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi namanya “Buceng”, dibuat dari ketan;
akronim dari:
yen mlebu kudu sing
kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh)
Sedangkan lauk-pauknya tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa
Jawa
pitu,
maksudnya
Pitulungan (pertolongan). Tiga
kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra’ ayat 80:
“Ya Tuhan, masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku
dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang
memberikan pertolongan”.
Menurut beberapa ahli tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan
hijrah keluar dari kota Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang
berhajatan dengan menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan
kepada Yang Maha Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari
keburukan, serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Dan itu semua
akan kita dapatkan bila kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh.
MEMAKNAI TUMPENG
Hubungannya dengan Agama dan
Ketuhanan
Bentuk tumpeng yang berupa kerucut dan mempunyai satu titik pusat pada
puncaknya dipercaya melambangkan Gunung Mahameru yang merupakan konsep alam
semesta dan berasal dari agama Hindu dan Buddha. Asal muasal bentuk tumpeng ini
ada dalam mitologi Hindu, di epos Mahabarata.
Gunung, dalam kepercayaan Hindu adalah awal kehidupan, karenanya amat
dihormati. Dalam Mahabarata dikisahkan tentang Gunung Mandara, yang dibawahnya
mengalir amerta atau air kehidupan. Yang meminum air itu akan mendapat mendapat
keselamatan. Inilah yang menjadi dasar penggunaan tumpeng dalam acara-acara
selamatan. Selain itu gunung bagi penganut Hindu diberi istilah méru,
representasi dari sistem kosmos (alam raya). Jika dikaitkan dengan bagian puncak
tumpeng, maka ini melambangkan Tuhan sebagai penguasa kosmos. Ini menjelaskan
bahwa acara-acara selamatan dimana tumpeng digunakan selalu dikaitkan dengan
wujud syukur, persembahan, penyembahan dan doa kepada Tuhan.
Selain pengaruh dari agama Hindu, bentuk tumpeng ini juga dipengaruhi oleh
agama atau kepercayaan masyakarat Jawa yang dikenal dengan
nama
kejawen. Masyarakat Jawa sendiri sebenarnya lebih menganggap
kejawen sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan
sejumlah
laku (perilaku). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada
aturan yang ketat seperti aturan-aturan agama pada umumnya, tetapi menekankan
pada konsep “keseimbangan”. Praktek ajaran ini biasanya melibatkan benda-benda
tertentu yang memiliki arti simbolik.
Gunung berarti tempat yang sangat sakral oleh masyarakat Jawa, karena
memiliki kaitan yang erat dengan langit dan surga. Bentuk tumpeng bermakna
menempatkan Tuhan pada posisi puncak yang menguasai alam. Bentuk kerucut
gunungan (méru) ini juga melambangkan sifat awal dan akhir, simbolisasi dari
sifat alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir)
pada Tuhan. Sebagian besar upacara yang diselenggarakan dalam kebudayaan Jawa
adalah bagian dari ritual
kejawen sehingga tentu saja pengadaan tumpeng
dan posisinya yang penting dalam sebuah upacara sangat berkaitan erat dengan
makna simbolis yang terkandung dalam tumpeng itu.
Konon alam semesta berbentuk pipih melingkar seperti cakram, dan lingkaran
itu berpusatkan Gunung Mahameru yang tingginya katanya sekitar 1.344.000
kilometer. Puncak gunung ini dikelilingi matahari, bulan dan bintang-bintang.
Konon katanya gunung ini berdiri di tengah benua yang bernama Jambhudwipa yang
ditinggali manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Benua Jambhudwipa dikelilingi
tujuh rangkaian lautan dan tujuh rangkaian pegunungan. Di bagian tepi alam
semesta terdapat rangkaian pegunungan yang sangat tinggi sehingga sukar didaki,
yaitu Chakrawan dan Chakrawala. Di puncak Gunung Mahameru terletak kota tempat
tinggal dewa-dewa. Adapun delapan arah dari Gunung Meru dijaga oleh dewa-dewa
Asta-Dikpalaka sebagai pelindung alam semesta dari serangan makhluk-makhluk
jahat.(Stutley 1977:190-191; Heine-Geldern 1982:4-5; Dumarcay 1986:89-91 dalam
Munandar).
Orang-orang Jawa Kuno penganut Hindu-Buddha yang memang gemar belajar dan
membaca memperhatikan betul soal ini. Dari dulu sampai sekarang orang kita
memang tergolong suka beradaptasi dengan budaya dari luar. Setelah masuk ke
budaya kita, budaya luar pastinya mengalami perubahan sesuai dengan daerah yang
menganutnya. Orang Jawa Kuno percaya kalo Gunung Mahameru telah mengalami mutasi
atau dipindahkan oleh para dewa dari Jambhudwipa ke Jawadwipa. Entah karena
alasan politis atau agama, pulau Jawa kemudian dinyatakan sebagai pusat dunia.
Konon oleh Bhatara Guru (atau Shiwa) para dewa disuruh turun ke Jawa supaya
mengajari para penduduk awal pulau Jawa berbagai pengetahuan dan keterampilan.
Oleh karena itu tidak mengherankan kalo gunung-gunung memiliki nilai mistis dan
religius di mata masyarakat (terutama di Jawa).
Di banyak kebudayaan gunung dianggap suci atau mistis. Orang Yunani
menganggap gunung Olympus sebagai tempat bersemayamnya Zeus. Di Hawaii
masyarakatnya percaya kalo gunung Mauna Kea adalah tempat tinggal Pele. Di
pegunungan Himalaya banyak dibangun kuil-kuil. Kalo di Indonesia sendiri kita
mengenal legenda Nini Pelet dari puncak gunung Ciremai atau mak Lampir dari
gunung Merapi.
Bagi orang-orang zaman dahulu gunung adalah abstraksi dari sesuatu yang jauh
lebih tinggi dan melampaui kekuasaan manusia, gunung juga dianggap lebih dekat
dengan ‘langit’. Tak mengherankan kalo bentuk piramid, atau candi cenderung
meniru bentuk gunung. Khusus untuk candi seperti Candi Borobudur, bentuknya
memang berkaitan dengan konsep Mahameru.
Kembali ke masalah nasi tumpeng, dari bentuknya sudah tampak menyerupai
gunung. Nasi tumpeng atau Tumpengan hanya ada dalam perayaan-perayaan tertentu.
Ini adalah warisan budaya nenek moyang. Suatu perayaan yang dianggap suci tentu
memerlukan simbol-simbol suci yang dapat mewakili makna dari apa yang tengah
dirayakan.
Selain dari bentuk, kita juga bisa menginterpretasikan makna dibalik warna
nasi tumpeng. Ada dua warna dominan nasi tumpeng yaitu putih dan kuning. Bila
kita kembali pada pengaruh ajaran Hindu yang masih sangat kental di Jawa, warna
putih diasosiasikan dengan Indra, Dewa Matahari. Matahari adalah sumber
kehidupan yang cahayanya berwarna putih. Selain itu warna putih di banyak agama
melambangkan kesucian. Warna kuning melambangkan rezeki, kelimpahan, kemakmuran.
Melihat hubungan antara makna dibalik bentuk tumpeng dan warna nasi tumpeng,
keseluruhan makna dari tumpeng ini adalah pengakuan akan adanya kuasa yang lebih
besar dari manusia (Tuhan), yang menguasai alam dan aspek kehidupan manusia,
yang menentukan awal dan akhir, Wujud nyata dari pengakuan ini adalah sikap
penyembahan terhadap Sang Kuasa dimana rasa syukur, pengharapan dan doa
dilayangkan kepadaNya supaya hidup semakin baik, menanjak naik dan tinggi
seperti halnya bentuk kemuncak tumpeng itu sendiri. Jadi tumpeng mengandung
makna religius yang dalam sehingga kehadirannya menjadi sakral dalam
upacara-upacara syukuran atau selamatan.
Berikut ini adalah contoh-contoh jenis-jenis tumpeng yang membawa pengharapan
atau doa tertentu kepada Sang Kuasa:
- Tumpeng Dlupak – yang puncak tumpengnya dibuat cekung (seperti
posisi tangan ketika berdoa) bermakna agar keinginan dan harapan si empunya
hajat dikabulkan.
- Tumpeng Punar – digunakan agar kehidupan keluarga cerah, seperti
menyambut kehadiran anak.
- Tumpeng Kendhit – dipakai saat pemilik hajat memohon jalan keluar
dari gangguan, kesulitan hidup, dan keselamatan dari ancaman roh jahat.
- Tumpeng Among-among – bermakna untuk minta perlindungan pada Tuhan
untuk keselamatan anak cucu.
- Tumpeng Robyong - Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara
siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di
dalam bakul dengan berbagai macam sayuran. Di bagian puncak tumpeng ini
diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai. Tumpeng robyong sering
dpakai sebagai sarana upacara selametan (tasyakuran). Tumpeng robyong merupakan
simbol keselamatan, kesuburan, dan kesejahteraan. Tumpeng yang menyerupai Gunung
menggambarkan kemakmuran sejati. Tumpeng Robyong dibuat agar si pemohon selalu
diobyong-obyong atau dikelilingi sanak saudara tercinta.
- Tumpeng Nujuh Bulan - Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan
tujuh bulan. Tumpeng ini terbuat dari nasi putih. Selain satu kerucut besar di
tengah, tumpeng ini dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan
di atas tampah yang dialasi daun pisang batu.
- Tumpeng Pungkur - digunakan pada saat kematian seorang wanita atau
pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk
sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling
membelakangi.
- Tumpeng Nasi Putih - warna putih pada nasi putih menggambarkan
kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral.
- Tumpeng Nasi Kuning - warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral
yang luhur. Digunakan untuk syukuran acara-acara gembira, seperti kelahiran,
pernikahan, tunangan, dan sebagainya.
- Tumpeng Nasi Uduk - Disebut juga tumpeng tasyakuran.
Digunakan untuk peringatan Maulud Nabi.
- Tumpeng Seremonial/Modifikasi
Tumpeng merupakan bagian penting dalam perayaan kenduri tradisional. Perayaan
atau kenduri adalah wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa
atas melimpahnya hasil panen dan berkah lainnya. Karena memiliki nilai rasa
syukur dan perayaan, hingga kini tumpeng sering kali berfungsi menjadi kue ulang
tahun dalam perayaan pesta ulang tahun.
Dalam kenduri, syukuran, atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak
tertulis menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang
paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling dituakan
di antara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat
kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk
bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan
rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan
kerukunan.
Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai ‘tumpengan’.
Di Yogyakarta misalnya, berkembang tradisi ‘tumpengan’ pada malam sebelum
tanggal 17 Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk mendoakan
keselamatan negara.
Pada jaman dahulu, sesepuh yang memimpin doa selametan biasanya akan
menguraikan terlebih dahulu makna yang terkandung dalam sajian tumpeng. Dengan
demikian para hadirin yang dating tahu akan makna tumpeng dan memperoleh wedaran
yang berupa ajaran hidup serta nasehat. Dalam selametan, nasi tumpeng kemudian
dipotong dan diserahkan untuk orang tua atau yang ‘dituakan’ sebagai
penghormatan. Setelah itu nasi tumpeng disantap bersama-sama. Upacara potong
tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau
ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan.
Hubungannya dengan
Alam
Kehidupan orang Jawa sangat lekat dengan alam. Mereka sadar bahwa hidup
mereka bergantung dari alam. Banyak pelajaran yang menjadi pedoman hidup
sehari-hari yang mereka ambil dari alam (Ch dan Sudarsono, 2008). Penempatan dan
pemilihan lauk pauk dalam tumpeng juga didasari akan pengetahuan dan hubungan
mereka dengan alam.
Nasi tumpeng yang berbentuk kerucut ditempatkan di tengah-tengah dan
bermacam-macam lauk pauk disusun di sekeliling kerucut tersebut. Penempatan nasi
dan lauk pauk seperti ini disimbolkan sebagai gunung dan tanah yang subur di
sekelilingnya. Tanah di sekeliling gunung dipenuhi dengan berbagai macam lauk
pauk yang menandakan lauk pauk itu semuanya berasal dari alam, hasil tanah.
Tanah menjadi simbol kesejahteraan yang hakiki.
Tidak ada lauk-pauk baku untuk menyertai nasi tumpeng. Namun demikian,
beberapa lauk yang biasa menyertai adalah perkedel, abon, kedelai goreng, telur
dadar/telur goreng, timun yang dipotong melintang, dan daun seledri. Variasinya
melibatkan tempe kering, serundeng, urap kacang panjang, ikan asin atau lele
goreng, dan sebagainya. Dalam pengartian makna tradisional tumpeng, dianjurkan
bahwa lauk-pauk yang digunakan terdiri dari hewan darat (ayam atau sapi), hewan
laut (ikan lele, ikan bandeng atau rempeyek teri) dan sayur-mayur (kangkung,
bayam atau kacang panjang). Setiap lauk ini memiliki pengartian tradisional
dalam budaya Jawa dan Bali. Lomba merias tumpeng cukup sering dilakukan,
khususnya di kota-kota di Jawa Tengah dan Yogyakarta, untuk memeriahkan Hari
Proklamasi Kemerdekaan.
Kebanyakan penghasilan orang Jawa diperoleh dengan bercocok tanam. Dengan
banyaknya gunung yang terdapat di pulau Jawa dan jenis tanah vulkanik yang subur
dan ideal untuk bercocok tanam, banyak orang Jawa yang tinggal disekitar daerah
gunung dimana mereka menanam padi, sayur-sayuran, buah-buahan dan memelihara
ternak seperti ayam, bebek, kambing, domba, sapi atau kerbau. Jadi hampir
seluruh kebutuhan hidup mereka didapatkan dari tanah di sekitar gunung. Oleh
karena itulah lauk-pauk ditempatkan di sekeliling nasi karena memang dari
sanalah mereka berasal (tanah di sekitar gunung).
Selain penempatannya, pemilihan lauk juga didasari oleh kebijaksanaan yang
didapat dari belajar dari alam. Tumpeng merupakan simbol ekosistem kehidupan.
Kerucut nasi yang menjulang tinggi melambangkan keagungan Tuhan Yang Maha
Pencipta alam beserta isinya, sedangkan aneka lauk pauk dan sayuran merupakan
simbol dari isi alam ini. Oleh karena itu pemilihan lauk pauk di dalam tumpeng
biasanya mewakili semua yang ada di alam ini (Shahab, 2006). Bila kita kembali
sejenak pada pembahasan tentang agama dan kepercayaan, dalam kepercayaan
Hindu-Jawa alam terdiri dari alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, dan alam
manusia. Di sini, alam tumbuh-tumbuhan diwujudkan melalui bahan-bahan, misalnya
kacang panjang dan sayur kangkung. Alam fauna dapat berasal dari dua unsur:
darat dan air, dan diwujudkan melalui daging hewan seperti ayam, kambing, sapi
dan jenis jenis ikan. Adapun alam manusia diwujudkan dalam bentuk keseluruhan
nasi tumpeng itu sendiri, yaitu makhluk yang bergantung pada tuhan dan alam.
Pada jaman dahulu, tumpeng selalu disajikan dari nasi putih. Nasi putih dan
lauk pauk dalam tumpeng mempunyai arti simbolik yang berbeda-beda.
- Nasi putih: berbentuk gunungan atau kerucut yang melambangkan tangan yang
merapat menyembah tuhan. Nasi putih juga melambangkan bahwa segala sesuatu yang
kita makan menjadi darah dan daging haruslah dipilih dari sumber yang bersih
atau halal. Bentuknya yang berupa gunungan juga dapat diartikan sebagai harapan
agar kesejahteraan hidup kita semakin “naik” dan “tinggi”.
- Ayam: ayam jago atau jantan yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu
kuning/kunir dan diberi kaldu santan yang kental merupakan simbol menyembah
Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati
dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar (nge’reh’ rasa). Menyembelih ayam
jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang dilambangkan oleh
ayam jago, diantaranya adalah sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela
dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia, dan tidak
perhatian dengan anak istri.
- Hidangan laut. Dari lauk pauk wakil dari alam fauna, sepertinya lauk yang
mewakili unsur air yang banyak mengandung makna yang bisa diterapkan dalam
kehidupan. Ikan sudah bisa dipastikan mewakili hewan air. Dalam tumpeng modern,
menu ikan sering digantikan dengan udang. Ada tiga jenis ikan yang bisa dipakai
untuk melengkapi jenis lauk-pauk yang terdapat di dalam tumpeng:
- Ikan Lele: ikan lele tahan hidup di air yang tidak mengalir dan terdapat di
dasar sungai. Menghadirkan ikan lele sebagai lauk dalam tumpeng merupaka simbol
ketabahan, keuletan dalam hidup, serta sanggup bertahan hidup dalam situasi
ekonomi paling bawah sekalipun. Kebiasaan hidup lele juga diharapkan akan
diterapkan dalam kehidupan karier manusia, yakni agar tidak sungkan meniti
karier dari bawah.
- Ikan Bandeng: Ikan bandeng terkenal dengan duri-duri halusnya yang jumlahnya
seperti tidak terbatas. Hampir setiap gigitan, hampir bisa dipastikan ada duri
di dalamnya. Melalui hidangan ini orang berharap setiap saat bisa mendapat
rezeki dan jumlahnya selalu banyak atau bertambah seperti duri ikan
bandeng.
- Ikan Teri/Gereh Pethek: ikan ini dapat digoreng dengan tepung atau tanpa
tepung. Ikan teri ukurannya sangat kecil dan mudah menjadi santapan ikan yang
leih besar apabila ia berenang sendirian. Oleh karena itu ikan teri hidupnya
selalu bergerombol. Ini mengingatkan manusia bahwa mereka tidak bisa hidup
sendiri. Mereka adalah makhluk yang lemah dan membutuhkan bantuan orang lain
untuk hidup. Dengan demikian, ikan teri melambangkan kerukunan dan kerjasama
yang harus dibina sesama manusia.
- Telur: telur direbus pindang, bukan didadar atau di-mata sapi, namun harus
disajikan utuh dengan kulitnya (tidak dipotong). Untuk memakannya harus dikupas
terlebih dahulu. Hal tersebut (kulit telur, putih telur, dan kuning telur)
melambangkan bahwa semua tindakan yang kita lakukan harus direncanakan(dikupas),
dikerjakan sesuai dengan rencana dan dievaluasi hasilnya demi tercapainya
kesempurnaan.
Piwulang Jawa mengajarkan “Tata, Titi, Titis, dan Tatas”, yang berarti etos
kerja yang baik adalah kerja yang terencana, teliti, tepat perhitungan, dan
diselesaikan dengan tuntas. Telur melambangkan bahwa manusia diciptakan Tuhan
dengan derajat (fitrah) yang sama, yang membedakannya adalah ketakwaan dan
tingkah lakunya.
- Sayuran dan urab-uraban: Urap sayuran merupakan jenis menu yang umum dipilih
yang dapat mewakili tumbuhan darat. Jenis sayurnya tidak dipilih begitu saja
karena tiap sayur juga mengandung perlambang tertentu. Sayuran yang harus ada
adalah:
- Kangkung: Sayur ini bisa tumbuh di air dan di darat, begitu juga yang
diharapkan pada manusia yang harus sanggup hidup di mana saja dan dalam kondisi
apa pun. Kangkung juga berarti ‘jinangkung’ yang artinya melindungi.
- Bayam: Bayam mempunyai warna hijau muda yang menyejukkan dan bentuk daunnya
sederhana tidak banyak lekukan. Sayur ini melambangkan kehidupan yang ayem
tenterem (aman dan damai), tidak banyak konflik seperti
sederhananya bentuk daun dan sejuknya warna hijau pada sayur bayam.
- Taoge: Taoge muncul keluar dari biji kacang hijau. Di dalam sayur kecil ini
terkandung makna kreativitas tinggi. Seseorang yang selalu memunculkan ide-ide
baru adalah seseorang yang kreativitasnya tinggi dan bisa berhasil dalam
hidupnya. Taoge juga jenis sayuran yang sangat mudah dihasilkan. Ini mengandung
pengharapan bahwa manusia dapat terus tumbuh dan berkembang, mempunyai anak
cucu.
- Kacang Panjang: Kacang panjang harus hadir utuh, tanpa dipotong. Maksudnya
agar manusia hendaknya selalu berpikir panjang sebelum bertindak. Selain itu
kacang panjang juga melambangkan umur panjang. Kacang panjang utuh umumnya tidak
dibuat hidangan, tetapi hadir sebagai hiasan yang mengelilingi tumpeng atau
ditempelkan pada badan kerucut.
- Bawang merah (brambang): melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dari
sisi baik buruknya dengan matang.
- Cabe merah: biasanya diletakkan di ujung tumpeng. Ini merupakan simbol
dilah/api yang memberikan penerangan/tauladan yang akan bermanfaat bagi diri
sendiri dan orang lain.
- Kluwih: berarti linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding yang
lainnya.
- Bumbu urap yang berarti urip/hidup atau mampu menghidupi dan menafkahi
keluarga.
Dari berbagai penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa pemilihan bentuk dan
lauk pauk pelengkap tumpeng bukan sekedar kebetulan atau tanpa alasan. Dasar
dasar pemilihannya sangat erat kaitannya dengan hubungan dan pengertian manusia
akan alam. Bahkan dari observasi sederhana yang jauh dari penjelasan ilmiah,
manusia bisa belajar banyak hal dari alam. Hal ini dinyatakan jelas oleh
tumpeng. Setiap kali tumpeng hadir dalam sebuah acara, kita akan diingatkan
kembali akan hubungan kita dengan alam dan pelajaran hidup yang kita peroleh
dari alam.
Hubungannya dengan Sosial
Kemasyarakatan
Puncak sebuah upacara dimana terdapat tumpeng didalamnya ditandai dengan
pemotongan bagian teratas atau terlancip kerucut nasi tumpeng tersebut.
Pemotongan ini biasanya dilakukan oleh orang yang paling dituakan atau dihormati
di komunitas dimana upacara itu dilaksanakan. Ini menyiratkan bahwa masyarakat
Jawa adalah masyarakat yang masih memegang teguh nilai nilai kekeluargaan dan
memandang orang tua sebagai figur yang sangat dihormati.
Hal ini tercermin dalam ungkapan Jawa
mikul dhuwur mendhem jero yang
mengandung nasihat kepada anak untuk memperlakukan orang tuanya secara baik.
Anak di sini bisa diartikan sebagai anak keturunan, generasi muda atau bawahan,
sedangkan orang tua bisa diartikan orang tua dalam hubungan darah, orang yang
usianya lebih tua, para pendahulu yang pernah berjasa, para pemimpin atau
atasan.
Mikul dhuwur (memikul tinggi) memiliki arti menghormati
setinggi-tingginya dan
mendhem jero (menanam dalam-dalam) artinya
menghargai sebaik-baiknya atau penghargaan yang mendalam terhadap seseorang
(Suratno dan Astiyanto, 2009).
Hal ini terwujud ketika orang yang dituakan memotong ujung kerucut tumpeng
dan semua yang hadir memperhatikan dan mengikuti dengan seksama. Ujung kerucut
nasi tumpeng adalah bagian yang paling penting dari tumpeng dan diperuntukkan
khusus untuk orang yang dituakan sebagai tanda hormat dan bakti. Setelah bagian
itu dipotong, barulah yang lain menikmati bagian tang tersisa dari nasi tumpeng
tersebut (bagian bawah kerucut).
Dalam tradisi awalnya, upacara dalam adat Jawa merupakan upacara yang
melibatkan seluruh desa atau kampung. Begitu mengetahui tetangganya mengadakan
upacara syukuran atau selamatan, sanak saudara, kenalan dan orang yang tinggal
sekitar tempat acara syukuran diadakan akan datang menawarkan bantuan tanpa
diminta. Mereka terlibat langsung mulai dari persiapan sampai dengan berakhirnya
acara tersebut. Dengan demikian, seluruh komponen upacara tersebut adalah atas
hasil usaha bersama.
Hal ini merupakan hal yang lazim terjadi dalam hubungan kemasyarakatan orang
Jawa yang menjunjung tinggi asas gotong royong. Ada ungkapan Jawa yang
berbunyi
urip tulung tinulung(Suratno dan Astiyanto, 2009) yang berarti
bahwa dalam hidup, orang harus saling tolong menolong. Ajaran ini berangkat dari
pandangan bahwa seseorang tidak mungkin hidup seorang diri. Sudah merupakan
kodrat seorang manusia yang membutuhkan orang lain. Oleh karena itu kita harus
hidup saling tolong menolong.
Hal ini berhubungan dengan ungkapan lain, yaitu
nandur kebecikan, males
budi (menanam kebaikan membalas budi). Konsep
nandur
kebecikan merupakan peringatan agar seseorang tidak bersikap individualis
atau sombong. Pengertian ungkapan ini juga mengandung ajaran filosofis bahwa
orang yang menanam pasti akan memetik hasilnya. Bila menanam kebaikan, pasti
akan memetik kebaikan pula (baik di dunia ataupun di akhirat). Keyakinan ini
membuahkan sikap murah hati untuk berbuat baik terhadap orang lain. Bila kita
menerima kebaikan dari orang lain, hendaknyalah kita
males budi atau
membalas budi sehingga jangan sampai kita hidup dengan berhutang jasa atau
kebaikan terhadap orang lain. Nilai
nandur kebecikan, males budi yang
tertanam dalam masyarakat akan menciptakan hubungan social kemasyaratkan yang
sangat harmonis yang salah satunya diwujudkan dalam sikap gotong royong dalam
mempersiapkan dan menjalankan sebuah upacara syukuran atau selamatan.
Ada sesanti jawi yang tidak asing bagi kita, yaitu:
mangan oran mangan
waton kumpul (makan tidak makan yang penting kumpul). Hal ini tidak berarti
meski serba kekurangan yang penting tetap berkumpul dengan sanak saudara, namun
harus selalu mengutamakan semangat kebersamaan dalam rumah tangga, perlindungan
orangtua terhadap anaknya, serta kecintaan terhadap keluarga. Dimana pun kita
berada, meskipun harus merantau, maka harus tetap mengingat kepada keluarganya
dan menjaga tali silaturahmi dengan sanak saudara.
PENUTUP
Jika dilihat secara keseluruhan, makna-makna inilah yang menjadi identitas
budaya dan masyarakat Jawa (dan Indonesia pada umumnya) sehingga hadirnya
tumpeng juga mengingatkan kita tentang siapa kita dan apa yang membuat bangsa
kita berbeda dari bangsa lain. Dengan begitu, tumpeng juga merupakan salah satu
perangkat identitas nasional yang harus dijaga dan dilestarikan, bukan dalam hal
bentuk tumpengnya saja melainkan juga makna-makna atau nilai nilai yang
terkandung di dalamnya.
PUSTAKA
- http://startinspiration.blogspot.com/2011/04/asal-mula-nasi-tumpeng.html
- http://cinta-syamsudin.blogspot.com/2011/06/filosofi-dan-asal-usul-nasi-tumpeng.html
- http:// bebekjalan.blogdetik.com/mengetahui-lebih-jauh-tentang-tumpeng/
- http://www.facebook.com/note.php?note_id=204413946240199\
- http://id.wikipedia.org/wiki/Tumpeng